Bersiap meladeni ajakan ngopi di depan masjid Agung Karanganyar. Menuju
angkringan bersahaja yang berjejeran melingkari alun-alun itu. Yang
berharga ialah ajakannya, dan kebersahajaan semacam itu mahal.
Istilah 'orang pintar' terlanjur dikonotasikan kepada orang yang menyandang ilmu supranatural, dan bahasa kaum sehari-hari terlanjur membudayakannya dengan sebutan paling umum, yaitu dukun. Fungsinya sudah terlanjur menjadi hal umum yang diprasangkai banyak kaum, maka istilah 'orang pintar' ini pun mesti diselamatkan, supaya fungsi bahasanya kembali kepada ruang kelasnya yang terang. Tapi tak perlu ngotot, batal diselamatkan ya tidak jadi soal. Sebab ada yang lebih penting un tuk diselamatkan, yaitu istilah 'toleransi' supaya tidak berubah bunyi dan fungsinya menjadi 'toleransu'.
Karya kartun lawas awal 2007. Sekalipun bukan orang Solo asli, banyak inspirasi kota ini yang menggoda untuk saya kartunkan. Yang masih gagal, mengkartunkan gedung RRI Solo. Sebab, awal sketsa mesti nongkrong di lokasi sebentar demi memunculkan impresi, baru dimainkan di rumah. Dengan mbak-mbaknya yang komersil disekitar situ, saya sopan-sopan saja. Mungkin kesopanan yang saya timbulkan dari balik gang itulah yang menggemaskan bagi mereka. Mbaknya bilang, saya mirip artis s ilat di Indosiar. Terima kasih buat mbak-mbaknya. Dan selamat berjalan-jalan di Kota Solo bagi yang kebetulan sedang piknik.
Selamat siang Ibu Editor yang baik. Naskah “Gembira menanam pohon” sudah selesai saya gambar. Jika ada gambar yang tidak sesuai dengan naskah cerita mohon maaf. Saya tidak menerima revisi. Hidup itu kejam Ibu Editor, Terimakasih. -Illustrator kejam berdarah dingin.
Komentar
Posting Komentar