Jamaah Prihatin




Selesai membuat kopi pagi aku dan kawanku ngobrol sehari-hari, datang kawan dari ruangan sebelah, namanya Sastro. Dia langsung menebak kondisi kawanku yang mencitrakan dirinya sedang laku puasa Senin Kamis, mungkin saja sebab pantulan parasnya yang pucat dan nampak kurang kenyang. Bagian ini adalah ketidaktepatan kawanku yang gemar menempelkan mimik memelas pada saat dia berpuasa. Kalau kita renungi, berpuasa itu melekatkan kebahagiaan pada wajah, sehingga wajah-wajah orang berpuasa itu sumringah. Bukan wajah orang patah hati.

“Wah! Sampean sedang prihatin kelihatannya, puasa Senin Kamis ya?” Sastro menebak kawanku yang menyimpan ekspresi kurang senang dengan ilmu tebak wajahnya. 

Padahal kemarin itu, Kawanku sudah terkena tebakan yang sama seperti hari ini. Kalau yang ini bab puasa, yang kemarin soal kawanku berdzikir panjang selesai sholat.

“Wah! Dzikirnya serius betul, kelihatannya sedang prihatin ini.” Tebakan tengah hari kemarin sudah gagal menyumbang kesejukan bagi siang hari yang cerah, ini pagi-pagi sudah main tebak-tebakan lagi.

Gara-gara mengingat kejadian kemarin dan hari ini, lantas saja saya tertawa bengal menemukan kelucuan dari sudut pandangnya. Menurut Sastro si akunting handal di perusahaan koran lokal, ibadah itu nggak jauh-jauh dari keprihatinan, kesusahan hidup. Ya sholat, puasa, wirid, itu semua laku prihatin.

Nah, kondisi ibadah pas prihatin, pas sempit, pas sakit, pas bludrek, pas rumit bayar utang, itu kondisi yang benar-benar ada. Tapi itu lazimnya kita, saya, Sastro, dan kawanku yang pucat memperjuangkan puasanya.

Tapi bagi para kekasihNYA, laku ibadah itu semata-mata karena pantulan kesyukuran seorang hamba yang sedang bahagia, tak ada keprihatinan pribadi, semata-mata karena pantulan kecintaannya kepada Allah dan Rasulnya. Tak peduli hidup sesungguhnya sedang prihatin atau sedang bahagia. Seluruhnya para kekasih rela menjadi tawanan cinta yang siap diperintah apa saja. Yang ada suka cita, tak peduli hidupnya memprihatinkan dan manusia lain mencemooh atau kasihan, cinta memang begitu. Mengubah pecinta menjadi pejuang.

Bahagianya saya tertawa lepas. Tak seluruhnya setuju tebakannya itu, tapi pada saat yang sama saya terhibur oleh sudut pandangnya. Mungkin diam-diam, saya termasuk orang yang memprihatinkan dimata Sastro saat saya mengangkat kedua tangan untuk berdoa.

Giliran waktu sudah ashar, saya merasa harus membalas tebakannya sambil menepuk-nepuk pundaknya dengan tertawa geli campur bahagia.

"Nampaknya kita ini sedang prihatin berjama'ah, Kang Sastro?"

"Lha, gimana tho Mas?"

"Karena kita sholat asharnya bareng-bareng". Terbahak-bahak bersama, dan semoga ini akur-akur saja. Seperti akurnya pinokio dan Paman Gebeto.


Mari, kurangi debat antar kawan yang bikin rawan, salam kopi hangat!








Komentar

Postingan populer dari blog ini

KATANYA ORANG PINTAR

Solo Menurut Kartunis

Gembira Menanam Pohon