Bukan Tokyo Love Story




Saya mulai senang baca komik sejak bisa mengeja huruf, macam-macam buku komik waktu itu. Yang dimajalah Bobo, yang di Ananda, atau komik majalah seperti donal bebek, smurf, Lucky Luke, dan Deni Manusia Ikan. Komik lokal yang pernah saya pegang karyanya R.A. Kosasih dan Teguh Santosa, komik Gundala dan Godam saya beli berbentuk gambar umbul.



Belanja komik dengan uang saku sendiri mulai kelas 5 SD. Komik yang pertama kali saya beli karyanya Tony Wong, yaitu komik Tiger Wong dan Tapak Sakti dengan harga Rp.3000 untuk satu majalahnya. Terbitnya hari Sabtu, setiap seminggu sekali, saya pasti bersepeda dari komplek menuju pertigaan jalan kota yang menghubungkan arah bis ke Sragen dan Surabaya itu. Dengan mengumpulkan uang saku Rp.500-Rp.1000,- setiap harinya, saya masih bisa jajan dan main video game di tahun 1993.


Tahun 1995, mulai melirik komik Jepang setelah saya terserang demam cinta monyet yang gawat. Kelas 1 Tsanawiyah saya beli karyanya Yuka Takase, komik percintaan dengan judul Angel menggeser jurus-jurusnya Sembilan Benua dikomik Tapak Sakti dan tendangan Supreme Tua dikomik Tiger Wong. Di tahun itu, komikTiger Wong harganya sudah mahal menjadi Rp.7.000! Didukung dengan ukurannya yang hampir sama dengan majalah Aneka, komik Tiger Wong sering disebut sebagai majalah komik.


Berbeda dengan komik Jepang yang seukuran kamus genggam, dengan harga Rp.3000,- tentu membuat saya beralih ke komik Jepang yang sesuai anggaran. Saya mulai memperhatikan komik-komik jepang yang diangkat menjadi tontonan visual, sebagai melodrama Jepang atau film kartun, seperti Dragon Ball di tivi. Sebagai satu-satunya melodrama di tivi yang diangkat dari komik ialah Tokyo Love Story! Melodrama Tokyo Love Story sebagai sinetron jepang pertama kali di Indosiar! Sebagai tivi swasta baru ditahun 1995!


Tontonan melodrama paling pas, disaat saya mulai gawat terkena cinta monyet sahabat pena! Sahabat pena? Jaman dulukan belum ada sosmed, Pak Pos jadi penolong aktivis korespondensi seperti saya ini. Tokyo Love Story membuat saya kadang-kadang membayangkan diri sebagai Nagao, dan sahabat pena saya itu sebagai Rika Akana, so sweet kan? Iya, memang so sweet. Pak Pos yang paling so sweet banget!


Cinta monyet saya itu sebatas Korespondensi dan kirim foto saja, tidak seperti jaman sosmed saat ini pastinya. Kalau bertemu dijalan pasti malu-malu, pura-pura tidak saling lihat, Terutama saya yang berpapasan pulang sekolah, pilih ngebut pura-puranya keburu gitu, tapi kalau sudah saling jauh, saling tengok malu-malu. Seperti itu rasanya jatuh cinta jejaka hijau. Love Story bangetkan?


Saya tidak pernah ketinggalan satupun seri melodrama Tokyo Love Story. Sampai saya catat soundtrack lagu versi Indonesianya sambil nonton. Saya nyanyikan dengan blero tapi penuh penghayatan pas nulis surat buat sahabat pena yang beda sekolah itu. Melodrama Jepang lebih bagus dalam penulisan ceritanya, tidak terduganya cerita dalam naskah sering mengaduk-aduk isi hati para pemirsa melodrama dan pembaca komik jepang seperti saya ini.


Apakah saya sekarang masih suka dengan melodrama? Biasa-biasa saja, pengaruh kematangan usia dan religi juga. Sekarang saya lebih suka menulis dan membaca buku, lalu kabarnya sahabat pena saya itu gimana? Saya tidak pernah tahu sejak kerusuhan mei 1998 di Solo! Yang saya kenang, dia memiliki wajah cantik mirip Cornelia Agatha, berkulit putih, rambut model Demi Moore.
 

Dia sahabat pena yang bertahan direlung hati saya paling lama, dari Mts, SMA, Mahasiswa sampai lulus dan bekerja, Saya pernah mencarinya hingga awal-awal kemunculan Facebook yang mendunia. Cuma penasaran aja, kayak gimana sekarang. Tapi nggak ketemu.

Menurut Yuka Takase dalam komik Angel, "Cinta pertama biasanya tidak berbuah".

Akhirnya memang bukan tentang Tokyo Love Story.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KATANYA ORANG PINTAR

Solo Menurut Kartunis

Gembira Menanam Pohon