Tetap indonesia!


                                         Tetap Indonesia!

Yu’minu bi ba’dihin wa yakfuru bi ba’dihin dan insya Allah saya bukan termasuk di dalam arti harfiahnya. Saya pluralis dalam konteks keragaman nusantara karena Indonesia memang memiliki keragaman etnis dan budaya yang mekar tapi tidak serta merta saya menjadi otomatis pluralis dalam keberagaman agama. Karna tata-cara beragama saya tidaklah seragam dengan tata cara pemeluk agama lain. Namun saya menghargai keyakinan seorang atheis fundamentalis sekalipun selama tidak mencela mereka yang bertuhan dan memeranginya. Andaikata sang atheis sakit dan tak berhartapun, kita yang satu langit di bumi Indonesia ini wajib meringankan bebannya, menghiburnya, menyemangatinya untuk kembali sehat, dan membelikan anaknya susu, tanpa ada intimidasi untuk memaksakan agama tertentu, setelah hujah di tegakkan terhadapnya.

Dalam toleransi beragama yang benar, islam menuntun kita untuk merujuk pada surat al kafirun ayat 7: lakum dinukum wa liyadin. Sangat jelas bagaimana seharusnya kita menempatkan porsi toleransi dan pluralisme dalam beragama. Kampanye pluralisme di Indonesia yang jargon sangat rentan mencukur habis tata cara beragama kita masing-masing lantaran kurang antusiasmenya antar pemeluk agama terhadap filter akidahnya sendiri-sendiri. Akibatnya kita gampang sekali menelan bulat-bulat istilah pluralisme yang kita muntahkan kembali dengan paham yang keliru bahwa agama itu semua sama, padahal tidaklah sama. Mengapa begitu? Itu karena setiap agama memiliki tata caranya sendiri dalam konsep penghambaannya. Tidaklah sama menganggap bintang kejora sebagai illahnya dengan yang menganggap Allahlah pemilik seluruh galaksi bima sakti yang luas diameternya di perkirakan sekitar 100.000 tahun cahaya yang di dalamnya memiliki 200-400 milyar bintang. Dan bumi yang kita tempati ini hanyalah seukuran debu yang di belah trilyunan kali di bandingkan dengan alam semesta ini, lalu sekecil apakah kita?


Maka konsep pluralisme keberagaman nusantara tentu saja saya setuju dan siap menjadi bagian societynya untuk hidup tolong-menolong karna itulah kerinduan karakter bangsa Indonesia. Namun saya tidak setuju menjadi pendukung pluralisme keber-agama-an karena itu menyangkut rukun dan syarat sahnya ibadah seseorang. Dan jika rakyat kita yang beragam Tuhannya ini di paksakan harus pluralis dalam beragama padahal itu menyangkut tata cara keyakinan, maka justru disitulah sebab terkuat disharmoninya prinsip di antara pemeluk agama yang lain. Tidaklah sama jarak tempuh yang memisahkan jauhnya antara timur dan barat sekalipun sama-sama naik bis dari terminal yang sama. Maka orang Indonesia yang beragam Tuhannya ini jangan mudah menganggap semua agama itu sama. Efeknya adalah kehilangan esensi iman berikut persepsi siapakah sebenarnya Tuhan itu?


Resapilah sejenak bahwa pemahaman Nabi Ibrahim tentang Allah jelaslah tidak sama dengan pemahaman Einstein tentang Tuhannya bukan? Maka perbedaan yang kaya ragam itulah realita Indonesia lampau, Indonesia kini, dan Indonesia masa depan. Posisi kita bersama adalah memanajemen peran sosial kita dan memanajemen prioritas hak masing-masing antar umat beragama. Jangan ada phobia sebelum mengetahui khasiatnya nilai empati di negeri yang sarat tragedi kemanusiaan dan bencana alam ini, kita butuh sifat tolong-menolong dalam kebaikan dari berbagai latar belakang suku dan agama apapun. Jangan lupa bahwa atheis yang sakitpun tidak memandang dokter sebagai siapa dan apa agamanya ketika datang memeriksa, bukankah begitu pula sebaliknya hubungan dokter terhadap pasien? Sekalipun kita bermunajat Hasbunallah wa ni’mal wakil ketika bersiap menyongsong idealisme hidup, akan tetapi jangan lupa, itu merupakan hak prerogative Allah azza wa jalla mengirimkan siapakah yang menjadi aparatnya di dunia ini untuk meringankan beban kita, seiman atau tidakkah penolong kita itu? Jika dengan mengaji qur'an dan sunnah justru memperkeras hati sekaligus menumpulkan kehanifan maka terbuat dari apakah hati kita ini? bukan risalahnya yang di koreksi, akan tetapi merujuklah ke dalam hatimu sendiri. Islam itu pengayom minoritas saudaraku, itulah yang di wariskan tokoh mujahid besar sepanjang zaman yaitu para khulafaur rasyidin setelah Rasulullah s.a.w.

Ba’da isya ketika hujan deras saya dan istri berteduh di teras klenteng. Atas inisiatif saya lalu melihat-lihat ke dalam seperti apakah persiapan selebrasi menjelang imlek di hari senin tgl 23 januari 2012 esok hari. Lalu saya berjumpa dengan banyak warga tiong hoa yang salah satunya berinisiatif senyum ramah mempersilahkan saya untuk mengambil hio sejumlah 3-3-3 dan mengundang istri saya yang berjilbab untuk datang lagi besok pagi jam tujuh. Karna akan di selenggarakan penyembelihan babi. Tentu saja hanya kami jawab dengan senyum dan percakapan hangat yang di buka istri saya sehingga nampak pengertian kembali di antara kita dan mengerti bahwa berbedanya ragam dalam praktik ibadah itu tidak serta merta mewariskan kecurigaan di antara kita, tidak ada luka, yang ada suka cita yang bermandikan cahaya lampion dan pengertian yang menjadi kunci kekuatan antar umat beragama untuk menjaga karakter Indonesia yang di rindukan bersama. Yaitu bangsa Indonesia yang subur intelektualitasnya berdasarkan mutu dan peradaban interaksi antar manusianya yang berarak maju. Jangan berpecah belah walaupun berbeda itu harus, mari kita mengelola perasaan dan mengendalikan tingkat depresi orang Indonesia akibat dekadensi moral dan nihilnya keteladanan pemimpin. Kullukum ra’in wa kullukum masulun an raiyatihi. Don’t forget!

Salam selebrasi penuh hikmat di hari raya saudara! Saya suka ragam kuliner cita rasa tiong hoa!
Tetap Indonesia. (ageng pariwara).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KATANYA ORANG PINTAR

Solo Menurut Kartunis

Gembira Menanam Pohon